Biografi Sudono Salim - Pengusaha Sudono Salim, yang bernama asli Liem Sioe Liong, sempat menduduki peringkat pertama sebagai orang terkaya di Indonesia dan Asia. Bahkan, konglomerat yang dikenal dekat dengan mantan Presiden Soeharto, ini sempat masuk daftar jajaran 100 terkaya dunia. Setelah krisis ekonomi dan reformasi politik, kekayaannya menurun. Lahir di Fuqing, Fujian, Cina Selatan, 16 Juli 1916, Salim meninggalkan negaranya dan berlabuh di Medan, Sumatera Utara, pada 1936. Ia bergabung dengan saudaranya, Liem Sioe Hie, dan saudara iparnya, Zheng Xusheng.Berikut adalah Biografi Sudono Salim.
Pengusaha senior Indonesia, Sudono Salim atau Liem Sioe Liong, dikabarkan meninggal dunia di Singapura. Pendiri Grup Salim itu, dikabarkan meninggal karena sakit. Sudono Salim, yang lahir pada 16 Juli 1916, saat ini memang tinggal di Singapura.
Pria yang dikenal dekat dengan mantan Presiden Soeharto itu, merupakan pendiri Grup Salim, yang meliputi kepemilikan Indofood, Indomobil, Indocement, Indosiar, BCA, hingga waralaba Indomaret. Kerajaan bisnisnya saat ini di Indonesia dilanjutkan oleh putranya, Anthoni Salim, dan menantunya yang bernama Franky Welirang, suami dari Myra Salim.
Di cakrawala ekonomi dan bisnis Indonesia, nama Liem Sioe Liong sudah menjadi legenda. Banyak yang lupa: hampir setengah abad yang lalu, pemuda perantau dari Futsing, Hokkian, Cina Selatan, itu memulai upayanya dengan magang pada seorang paman yang berdagang jagung, beras, kedelai -- antara lain.
Lahir sebagai Lin Shao-liang, anak kedua dari tiga bersaudara ini mengikuti jejak abangnya, Liem Sioe Hie, yang sudah mendarat di Jawa sembilan tahun lebih awal. ''Dua tahun pertama di Indonesia amat berat,'' tutur Shao-liang, yang belakangan dikenal juga dengan nama Sudono Salim.
Di cakrawala ekonomi dan bisnis Indonesia, nama Liem Sioe Liong sudah menjadi legenda. Banyak yang lupa: hampir setengah abad yang lalu, pemuda perantau dari Futsing, Hokkian, Cina Selatan, itu memulai upayanya dengan magang pada seorang paman yang berdagang jagung, beras, kedelai -- antara lain.
Lahir sebagai Lin Shao-liang, anak kedua dari tiga bersaudara ini mengikuti jejak abangnya, Liem Sioe Hie, yang sudah mendarat di Jawa sembilan tahun lebih awal. ''Dua tahun pertama di Indonesia amat berat,'' tutur Shao-liang, yang belakangan dikenal juga dengan nama Sudono Salim.
Lahir sebagai Lin Shao-liang, anak kedua dari tiga bersaudara ini mengikuti jejak abangnya, Liem Sioe Hie, yang sudah mendarat di Jawa sembilan tahun lebih awal. ''Dua tahun pertama di Indonesia amat berat,'' tutur Shao-liang, yang belakangan dikenal juga dengan nama Sudono Salim.
Ketika Jepang datang, ia mulai berdagang minyak kacang kecil- kecilan di Kudus, Jawa Tengah. Kemudian mencoba nasib sebagai penyalur cengkih di kota sigaret kretek itu. Lalu, datanglah nasib baik serentak dengan saat pecahnya Revolusi 1945. Liem membantu Republik, yang membutuhkan banyak dana melawan Belanda.
Tetapi, ketika Jepang menyerah, ia sempat disrempet musibah. Berkarung-karung uang Jepang miliknya mendadak dinyatakan tidak laku, karena pemerintah menerbitkan uang baru. Ketika itu, tiap orang menerima satu rupiah uang baru tadi. ''Keluarga saya delapan orang, jadi dapat delapan rupiah, wah, edan,'' katanya mengenang.
Liem lalu mengubah taktik dagangnya. ''Bisnis itu tidak boleh atas dasar uang, tapi harus atas dasar barang,'' ia seperti memberi nasihat. Sejak itu pula ia lebih memusatkan usaha diversifikasi. Toh, ia merasa tidak bisa bergerak lincah di zaman Bung Karno. ''Dulu dagang susah, orang banyak bicara,'' katanya. ''Tapi sejak Orde Baru, dipimpin oleh Presiden Soeharto, saya ambil keputusan: apa yang harus dilakukan sebagai orang dagang.'' Dengan Pak Harto, Liem mengaku baru kenal setelah 1950-an, di Semarang.
Kini, bos perusahaan induk Liem Investors di Hong Kong, dan PT Salim Economic Development Corporation (SEDC) di Jakarta, itu sering disebut sebagai ''pengusaha terkaya nomor enam di dunia''. Jumlah hartanya mengalahkan keluarga Rotschild dan Rockefeller. Pada 1984, kekayaan kelompok ini ditaksir sekitar US$ 7 milyar. Artinya, sama dengan jumlah uang yang beredar di Indonesia ketika itu yang, menurut beberapa sumber, meliputi sekitar Rp 7 trilyun.
Liem pindah ke Jakarta pada 1951, dan mulai mengembangkan usahanya. Mula-mula ia mendirikan pabrik sabun, kemudian pabrik paku, ban sepeda, pengilangan karet, kerajinan, dan makanan. Ia juga bergerak di bidang pengusahaan hutan, bangunan, perhotelan, asuransi, perbankan, bahkan toko pakaian. Kunci sukses baginya adalah jasa. ''Kalau jasa itu jalannya betul, otomatis bisa jual lancar,'' katanya, dalam bahasa Indonesia yang tetap patah-patah.Namun, Liem keberatan usahanya dikatakan menerobos ke semua penjuru bisnis. ''Orang suka bilang ini-itu punya Liem Sioe Liong. Gila apa? Tapi kalau orang lain suka pakai nama Liem, bisa bilang apa?'' katanya kepada majalah TEMPO, media massa Indonesia pertama yang mewawancarainya, Maret 1984.
Kelompok ini juga mengaku tidak selamanya bernasib mujur. ''Dihitung-hitung, ada sekitar sepuluh perusahaan yang kami tutup, karena kalah bersaing,'' ujar Anthony Salim, nomor dua dari empat putra Liem -- yang sering disebut-sebut sebagai ''putra mahkota''. Paling tidak terdapat sekitar 37 perusahaan yang bernaung di bawah SEDC.
Selain dikenal sebagai ''raja bank'', kelompok Liem juga disebut-sebut sebagai satu di antara ''raja semen'' di dunia. Dalam setiap usaha patungan, kelompok ini selalu menonjol sebagai pemilik saham terbesar. Dan langkah itu bukannya tanpa pertimbangan. Dengan memiliki 51% saham perusahaan Hagemeier di Belanda, misalnya, ''Kami bisa menentukan policy perusahaan,'' kata Liem. ''Juga supaya bisa mengawasi ekspor dari Indonesia, misalnya hasil bumi.''
Sejak 1982, gebrakan kelompok Liem di luar negeri semakin mantap. Ia membeli, antara lain, 80% saham Hibernia Banchares, San Francisco, disusul 54,4% saham Shanghai Land Investment. Tetapi, Maret 1986, ia tersandung dalam usaha penanaman modal di Provinsi Fujian, RRC, bekas daerah kelahirannya.Di kawasan itu, di sebuah desa peternakan tiram di Teluk Meizhou, terdapat proyek pengilangan minyak senilai US$ 800 juta. Usaha ini merupakan patungan antara China Fujian Petroleum Co., China Petrochemical International Corp., Fujian Investment & Enterprise Ltd., dan China Pacific Petroleum Ltd. Perusahaan terakhir ini, menurut surat kabar The Asian Wall Street Journal, didaftarkan di Liberia, dan ''dikontrol oleh Mr. Liem''.
Ketika Jepang datang, ia mulai berdagang minyak kacang kecil- kecilan di Kudus, Jawa Tengah. Kemudian mencoba nasib sebagai penyalur cengkih di kota sigaret kretek itu. Lalu, datanglah nasib baik serentak dengan saat pecahnya Revolusi 1945. Liem membantu Republik, yang membutuhkan banyak dana melawan Belanda.
Tetapi, ketika Jepang menyerah, ia sempat disrempet musibah. Berkarung-karung uang Jepang miliknya mendadak dinyatakan tidak laku, karena pemerintah menerbitkan uang baru. Ketika itu, tiap orang menerima satu rupiah uang baru tadi. ''Keluarga saya delapan orang, jadi dapat delapan rupiah, wah, edan,'' katanya mengenang.
Liem lalu mengubah taktik dagangnya. ''Bisnis itu tidak boleh atas dasar uang, tapi harus atas dasar barang,'' ia seperti memberi nasihat. Sejak itu pula ia lebih memusatkan usaha diversifikasi. Toh, ia merasa tidak bisa bergerak lincah di zaman Bung Karno. ''Dulu dagang susah, orang banyak bicara,'' katanya. ''Tapi sejak Orde Baru, dipimpin oleh Presiden Soeharto, saya ambil keputusan: apa yang harus dilakukan sebagai orang dagang.'' Dengan Pak Harto, Liem mengaku baru kenal setelah 1950-an, di Semarang.
Kini, bos perusahaan induk Liem Investors di Hong Kong, dan PT Salim Economic Development Corporation (SEDC) di Jakarta, itu sering disebut sebagai ''pengusaha terkaya nomor enam di dunia''. Jumlah hartanya mengalahkan keluarga Rotschild dan Rockefeller. Pada 1984, kekayaan kelompok ini ditaksir sekitar US$ 7 milyar. Artinya, sama dengan jumlah uang yang beredar di Indonesia ketika itu yang, menurut beberapa sumber, meliputi sekitar Rp 7 trilyun.
Liem pindah ke Jakarta pada 1951, dan mulai mengembangkan usahanya. Mula-mula ia mendirikan pabrik sabun, kemudian pabrik paku, ban sepeda, pengilangan karet, kerajinan, dan makanan. Ia juga bergerak di bidang pengusahaan hutan, bangunan, perhotelan, asuransi, perbankan, bahkan toko pakaian. Kunci sukses baginya adalah jasa. ''Kalau jasa itu jalannya betul, otomatis bisa jual lancar,'' katanya, dalam bahasa Indonesia yang tetap patah-patah.Namun, Liem keberatan usahanya dikatakan menerobos ke semua penjuru bisnis. ''Orang suka bilang ini-itu punya Liem Sioe Liong. Gila apa? Tapi kalau orang lain suka pakai nama Liem, bisa bilang apa?'' katanya kepada majalah TEMPO, media massa Indonesia pertama yang mewawancarainya, Maret 1984.
Kelompok ini juga mengaku tidak selamanya bernasib mujur. ''Dihitung-hitung, ada sekitar sepuluh perusahaan yang kami tutup, karena kalah bersaing,'' ujar Anthony Salim, nomor dua dari empat putra Liem -- yang sering disebut-sebut sebagai ''putra mahkota''. Paling tidak terdapat sekitar 37 perusahaan yang bernaung di bawah SEDC.
Selain dikenal sebagai ''raja bank'', kelompok Liem juga disebut-sebut sebagai satu di antara ''raja semen'' di dunia. Dalam setiap usaha patungan, kelompok ini selalu menonjol sebagai pemilik saham terbesar. Dan langkah itu bukannya tanpa pertimbangan. Dengan memiliki 51% saham perusahaan Hagemeier di Belanda, misalnya, ''Kami bisa menentukan policy perusahaan,'' kata Liem. ''Juga supaya bisa mengawasi ekspor dari Indonesia, misalnya hasil bumi.''
Sejak 1982, gebrakan kelompok Liem di luar negeri semakin mantap. Ia membeli, antara lain, 80% saham Hibernia Banchares, San Francisco, disusul 54,4% saham Shanghai Land Investment. Tetapi, Maret 1986, ia tersandung dalam usaha penanaman modal di Provinsi Fujian, RRC, bekas daerah kelahirannya.Di kawasan itu, di sebuah desa peternakan tiram di Teluk Meizhou, terdapat proyek pengilangan minyak senilai US$ 800 juta. Usaha ini merupakan patungan antara China Fujian Petroleum Co., China Petrochemical International Corp., Fujian Investment & Enterprise Ltd., dan China Pacific Petroleum Ltd. Perusahaan terakhir ini, menurut surat kabar The Asian Wall Street Journal, didaftarkan di Liberia, dan ''dikontrol oleh Mr. Liem''.
Sayang, usaha patungan itu terkatung-katung, paling tidak sudah setahun. Konon, pihak RRC terlalu banyak menuntut. Mereka juga, yang memang kurang berpengalaman dalam menyelenggarakan bisnis patungan, bingung oleh melonjaknya harga barang-barang impor yang dibutuhkan kilang minyak tersebut. Pihak Liem sendiri, menurut koran tersebut, tidak begitu ambil pusing dan siap-siap menarik diri.
Menjelang usia 70, taipan yang juga sering dipanggil sebagai ''Oom Liem'' ini mengaku tidak lagi bekerja terlalu keras. ''Setiap hari saya masuk kantor jam sepuluh pagi, lalu terima tamu,'' katanya. Ia tidak merokok, juga tidak menjamah minuman keras. Kegemarannya terbatas: jogging tujuh kilometer setiap pagi, dan, kabarnya, mengunjungi klub malam. ''Saya juga sudah jarang sekali teken cek,'' katanya.
Lalu, siapa yang akan menggantikan tahta si Oom? ''Semua anak sama,'' katanya. ''Yang perlu di sini teamwork. Yang bilang Anton bakal ganti saya itu orang luar.'' Ia, memang, seperti lebih menekankan perlunya tenaga profesional. Hal ini tampak, antara lain, pada keterlibatan Liem memelopori dan menangani beberapa lembaga pendidikan, misalnya Yayasan Tarumanegara dan Prasetiya Mulya.
Kapitalisme Global, Kekuasaan, dan Negara
Grup Salim terus melebarkan sayap bisnisnya di India. Setelah membangun perkotaan dan pabrik sepeda motor dengan total investasi sekitar US$ 580 juta melalui bendera Kolkata West International Private Limited, kini Salim mulai menjajaki pembangunan pabrik mie instan. Untuk tahap awal, Salim Group telah diberi kepastian dari pemerintah India untuk membebaskan lahan seluas 500 acre di Howrah, India. Di atas lahan tersebut akan dibangun sebuah pabrik mie instan terbesar. Pembangunan pabrik mie instan milik Grup Salim di India dilakukan dengan menggunakan bendera Ambica Jute Mills Limited yang merupakan anggota dari Kankarai Group.
Di Indonesia, Grup Salim sangat dekat dengan rezim orde baru. Melihat kedekatannya dengan rezim Soeharto, tidaklah terlalu mengherankan mengapa korporasi tersebut mampu menjadi korporasi terkaya dan menguasai pasar di Indonesia selama Soeharto berkuasa. Mereka menyokong senjata bagi Soeharto yang kemudian mendapatkan kursi kekuasaannya lewat pembantaian komunis di Indonesia. Ironisnya, dalam praktek kebijakan neoliberal di India, Grup Salim memenangkan hati pemerintahan India yang komunis, dengan membantai para pendukungnya pemerintahan tersebut: para petani kecil. Kontradiksi ini sekali lagi memperlihatkan kepada kita semua bahwa siapapun yang memegang kekuasaan di sebuah negara, kapitalisme lah yang akan tetap keluar sebagai pemenangnya. Kapitalisme akan selalu mendukung pemerintahan manapun yang mampu mendukung kepentingan ekonomis mereka. Di bawah rezim kapital, siapapun yang duduk di kursi kekuasaan, korporasi lah yang akan menang.
Di benak kebanyakan orang, kapitalisme dan neoliberalisme adalah mengenai kebijakan Amerika Serikat (AS). Namun dari kisah pembantaian para petani di India, terlihat bahwa apa yang selama ini ada di benak kebanyakan orang mengenai AS sebagai pelaku neoliberalisme tidaklah sepenuhnya benar. Kapitalisme yang berujud neoliberalisme bukan lagi mengenai kepentingan sebuah negara bangsa, melainkan kepentingan akumulasi kapital bagi korporasi. Dan dalam neoliberalisme, siapapun, dari negara manapun dapat berpartisipasi dalam praktek imperialisme global.
Selundupkan Senjata Untuk Tentara Indonesia
Tidak banyak yang tahu, mantan salah satu orang terkaya di Asia dan pemilik Indofood ini berjasa besar sewaktu perang kemerdekaan Indonesia.
Liem pada periode 1949-1950 pernah memasok senjata buat gerilyawan pro-Republik Indonesia buat melawan Belanda. Temuan itu diceritakan di penelitian Yong Mun Cheong dengan judul 'The Indonesian Revolution and the Singapore connection' (2003). Perjuangan kemerdekaan Indonesia di pelbagai tempat terbukti didukung etnis Tionghoa, termasuk Liem. Dia saat itu dikenal sebagai juragan tembakau terkemuka di Medan, Sumatera Utara. Selepas Jepang hengkang dan Republik Indonesia diproklamirkan, mendadak Belanda melakukan agresi.
Liem memiliki kenalan banyak sanak famili di Singapura dan Hong Kong. Salah satunya adalah Tan Kah Kee, saudagar kaya di Singapura yang bersimpati dengan perjuangan Indonesia. Liem bekerjasama dengan Kee memasok kebutuhan gerilyawan republik muda ini. Bantuan itu disamarkan dengan kedok obat-obatan kepada tentara secara sembunyi-sembunyi. Pihak Belanda curiga. Liem dituduh memberi bantuan senjata pada gerilyawan Indonesia. Pengusaha ini mengelak dan beruntung tidak dicokok polisi Belanda.
Karena kedekatan dengan tentara di masa revolusi itulah, Liem mengenal Soeharto, perwira militer penting yang kariernya sedang menanjak dan sempat dikirim sebentar di Medan. Banyak pihak percaya kedua tokoh ini menjaga keakraban hingga Soeharto naik tahta menjadi presiden. Faktanya, di akhir tahun 1969, Soeharto memberikan sebagian monopoli penggilingan dan distribusi gandum dan tepung pada PT Bogasari Flour Mills, yang dikuasai oleh kelompok Salim.
Hingga akhir hayatnya Liem selalu menolak tudingan bisnisnya berkembang karena bantuan militer.
sumber
http://www.biografi-tokoh.com/
0 komentar:
Posting Komentar